Orang Kanekes
Orang
Kanekes
atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi mereka
sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang
menerapkan isolasi
dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto.
Daftar isi
1
Etimologi
2
Wilayah
3
Bahasa
4
Kelompok masyarakat
5
Asal-usul
6
Kepercayaan
7
Pemerintahan
8
Mata pencaharian
9
Interaksi dengan masyarakat luar
10
Rujukan
11
Lihat pula
12
Pranala luar
Etimologi
Sebutan
"Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada
kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya
mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan
masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena
adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah
tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes
atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan
yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna,
1993).
Wilayah
Wilayah Kanekes secara geografis
terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT
(Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa
Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak
sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari
Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL)
tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah
rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah
endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu
rata-rata 20 °C.
Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten.
Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa
Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah.
Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat,
kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan
lisan saja.
Orang
Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan
adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun
fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak
era Suharto pemerintah telah
berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidupmereka dan membangun fasilitas
sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah
tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis
menggambar.
Kelompok masyarakat
Orang Kanekes masih memiliki
hubungan sejarah dengan orang Sunda.
Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya.
Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes
menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup
mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh
asing dan mayoritas memeluk Islam.
Masyarakat Kanekes secara umum
terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka
(Permana, 2001).
Kelompok tangtu adalah
kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam
(Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di
tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam
adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala
putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing (non WNI)
Kanekes Dalam adalah bagian dari
keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam
masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian peraturan yang dianut
oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
Tidak
diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
Tidak
diperkenankan menggunakan alas kaki
Pintu
rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau
ketua adat)
Larangan
menggunakan alat elektronik (teknologi)
Menggunakan
kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri
serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
Kelompok masyarakat kedua yang
disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar),
yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes
Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain
sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat
kepala berwarna hitam.
Kanekes Luar merupakan orang-orang
yang telah keluar dari adat
dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya
warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
•
Mereka
telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
•
Berkeinginan
untuk keluar dari Kanekes Dalam
•
Menikah
dengan anggota Kanekes Luar
Ciri-ciri masyarakat
orang Kanekes Luar
•
Mereka
telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya
tetap merupakan larangan untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes
Luar. Mereka menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi agar
tidak ketahuan pengawas dari Kanekes Dalam.
•
Proses
pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu,
seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes
Dalam.
•
Menggunakan
pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang
menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti
kaos oblong dan celana jeans.
•
Menggunakan
peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca
& plastik.
•
Mereka
tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
Apabila
Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes
Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2
kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas
pengaruh dari luar.
Asal-usul
Menurut kepercayaan yang mereka
anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh
dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula
dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan
mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa
atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang
Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya
dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan
perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar
Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang
sebelum keruntuhannya pada abad ke-16
berpusat di Pakuan
Pajajaran (sekitar Bogor
sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan
bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang
cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai
digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian
penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap
bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah
sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola
kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut.
Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal
bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu
Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan
pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas
dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi
komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van
Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928,
menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli
daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna,
1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka
berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda.
Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk
setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena
penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau
nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal
dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli,
asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda
Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan
Darmasiksa.
Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes
yang disebut sebagai Sunda Wiwitan
berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada
perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu, . Inti kepercayaan
tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang
dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting
dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan
apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu
beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh
dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam
kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh
tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara
berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering,
hanya menanam dengan tugal,
yaitu sepotong bambu
yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan
apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama
panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi,
bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi
masyarakat Kanekes adalah Arca Domas,
yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes
mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan
Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya Pu'un
atau ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang
mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat
batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan
batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi
masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan
banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang
kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana,
2003a).
Bagi
sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang
dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan
masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
Pemerintahan
Masyarakat
Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti
aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang
dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan
sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk
Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah,
yang ada di bawah camat,
sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu
"Pu'un".
Pemimpin
adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di
tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun
tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka
waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan
seseorang memegang jabatan tersebut.
Mata pencaharian
Sebagaimana
yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat
Kanekes adalah bertani padi huma.
Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual
buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
Interaksi dengan masyarakat luar
Masyarakat Kanekes yang sampai
sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing,
terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar.
Berdirinya Kesultanan
Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah
kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda
kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin
melaksanakan seba
ke Kesultanan
Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus
dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija,
buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat),
melalui bupati Kabupaten
Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Kanekes Luar berinteraksi erat
dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang
lampau dilakukan secara barter,
sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang
Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga
membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi
orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung,
dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang
mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per
kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga
para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut,
bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti
adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak
boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai.
Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI).
Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak
masuk.
Pada
saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang
berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan
kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3
sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes
sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut
biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Pernikahan
Suku Baduy
Sebelum
menikah ada yang namanya pendekatan, mereka tidak boleh berdua tapi harus ada
yang mengantarkan. Jika diketahui terjadi pegangan tangan akan dihukum 40 hari
40 malam oleh Jaro 7 atau dikeluarkan dari Baduy Dalam. Jika terjadi
perzinahan akan mendapat kesusahan, pasangan tersebut akan sulit mendapat
bantuan saat proses persalinan, pasangan tersbut harus menikah kemudian pasangan
tersebut harus bercerai dulu, lalu dilakukan penobatan (tobat) di Lembaga Adat,
sehingga hukumannya sangat memalukan, dengan demikian tercipta rasa takut untuk
melakukan hal tersebut.
Pasangan
di Suku Baduy menikah dengan mengucapkan syahadat yang berlaku sesuai Adat
Baduy. Suku Baduy melarang adanya perceraian, namun masih ada perceraian yang
terjadi. Suku Baduy melarang adanya poligami. Tidak diperkenankan menikah
dengan sesama anggota keluarga.
Pemerintahan
Suku Baduy
Suku
Baduy memiliki pemimpin yang bernama Puun (dibaca : pu'un). Puun dipilih dan
diangkat melalui musyawarah, tidak dari garis keturunan dan dapat diganti saat
dibutuhkan atau usianya sudah tua. Puun dibantu oleh para Jaro yang memiliki
tugas masing-masing. Jaro 7 dan dan jaro 12 bertugas sebagai penjembatan
masyarakat baduy dengan pemerintah, terutama yang berkaitan dengan program
pemerintah.
Kesehatan
Suku Baduy
Ada
tiga tahapan pengobatan bagi orang Suku Baduy yang sakit, Jika dari mereka ada
yang sakit, yang pertama dilakukan adalah memberikan pengobatan dengan
obat-obatan yang berasal dari tanaman (herbal), kemudian jika masih tidak dapat
diobati akan diberikan mantra-mantra, dan jika masih tidak dapat sembuh juga
baru dapat dilarikan ke dokter terdekat.
Pemakaman
Suku Baduy
Jenazah
Suku Baduy akan dikuburkan di tempat tertentu, setelah 7 hari 7 malam kuburan
tersebut dapat digunakan kembali untuk berladang. Hal ini lah yang menyebabkan
anda tidak akan menemukan kuburan di Suku Baduy.
Kesenian
Suku Baduy
Masyarakat
Suku Baduy sering memaikan alat musik degung dan angklung, alat musik ini
dimainkan di acara adat dan pernikahan.
Ritual
Suku Baduy
Suku
Baduy memiliki hari raya sendiri yaitu Hari Raya Seren Taun, atau disebut juga
Kawalu yang lamanya hingga 3 bulan. Saat perayaan Kawalu, pelancong tidak
diizinkan masuk hingga Baduy Dalam karena disana digelar upacara adat.
Selain
itu adapula Tradisi/ Ritual Seba, ritual ini adalah bentuk silaturahim Suku
Baduy dengan Kepala Pemerintahan. Terdapat 2 jenis Seba, pertama adalah Seba
kecil yaitu dilakukan di lingkungan sendiri tanpa perlu keluar kampung, adapula
yang kedua adalah Seba besar yaitu wajib hukumnya untuk melakukan pertemuan
dengan pemimpin pemerintahan dengan membawa hasil bumi, terutama laksa
(intisari padi hasil panen seluruh masyarakat baduy yang dikeringkan dan
disatukan). Pada Seba Besar mereka melakukan silaturahim dengan Bupati Lebak di
Kota Rangkasbitung kemudian dilanjutkan ke Gubernur Banten di Kota Serang yang
memakan waktu 3 hari dengan berjalan kaki. Menurut sejarah, Seba dilakukan dari
kesepakatan Suku Baduy dengan Kerajaan/ Kesultanan Banten pada masa silam, dan
terus dilanjutkan hingga kini. Kegiatan Seba ini dilaksanakan setahun
sekali.
Tempat
Suci Suku Baduy
Saka
Domas adalah tempat suci Suku Baduy. Saka Domas diperkirakan seluas 30 Ha dan
tempat ini sangat dirahasiakan oleh Suku Baduy. Saka Domas sangat dijaga
dan dipelihara agar tidak rusak oleh masyarakat Suku Baduy supaya terhindar
dari bencana gempa dan sebagainya. Saka Domas diceritakan terdapat bebatuan dan
tidak ada arca apapun disana.
Hukum
Adat Suku Baduy
Suku
Baduy tidak mengenal budaya tulis, mereka hanya mengenal budaya bicara/
nasihat. Karena menurut mereka tulisan dapat hilang, sedangkan nasihat dapat
masuk ke hati dan dapat diwujudkan dengan tingkah laku sehingga tidak hilang
dari hingatan. Jika ada kejadian pencurian di masyarakat Suku Baduy, akan
dilakukan pertemuan adat yang kemudian akan diberikan pelajaran/ hukum adat
kepada pelaku hingga pelaku sadar akan kesalahannya. Jika masalahnya besar akan
dibawa ke kantor kepala desa dan biasanya sudah dapat diselesaikan disana. Di
dalam masyarakat Suku Baduy belum pernah terjadi peristiwa pembunuhan.
Suku
Baduy melarang turis berkebangsaan kaukasoid/ kulit putih maupun kulit hitam
untuk masuk mengunjungi Suku Baduy.
Ketahanan
Pangan Suku Baduy
Makanan
utama suku baduy adalah nasi dan garam, jika ada rezeki mereka bisa menambahkan
menu dengan ikan. Oleh karena makanan pokok mereka adalah beras, mereka
memiliki banyak huma (huma artinya ladang) untuk menanam padi di bukit-bukit.
Suku
Baduy menyimpan hasil panen padi mereka di dalam leuit (luit artinya lumbung).
Padi di dalam leuit dapat digunakan jika kampung dalam bahaya. Setiap keluarga
di Suku Baduy memiliki leuit masing-masing. Leuit ini dapat membuat padi
bertahan hingga 200 tahun lamanya.
Perumahan
Suku Baduy
Suku
Baduy membuat rumah mereka secara gotong royong. Konstruksinya di gambar oleh
Suku Baduy yang ahli membuat rumah. Tanah yang ada di kampung ini bisa dijual
belikan namun biasanya sudah diplotkan kepemilikannya.
sumber wikipedia